Menonton TV di Tengah Covid 19 pada Bulan Ramadhan

Ibnu Hamad
Ketua Pokja Media Watch Komisi Infokom MUI Pusat, Profesor Ilmu Komunikasi FISIP UI

Masuk akal jika terjadi peningkatan jumlah penonton TV di masa pandemi Covid 19. Pandemi ini membuat orang banyak tinggal di rumah. Mengikuti anjuran pemerintah untuk tetap tinggal di rumah, boleh dikatakan untuk sebagian besar masyarakat, mereka tinggal di rumah selama 24 setiap harinya. Bahkan mereka yang biasa bekerja di perkantoran pun menyelesaikan tugas-tugasnya secara WFH (work from home).

Oleh karena orang-orang banyak tinggal di rumah, mereka memiliki kesempatan yang lebih besar untuk menonton TV baik untuk mendapatkan informasi maupun untuk memperoleh hiburan. Apalagi ketika tulisan ini dibuat, masyarakat muslim Indonesia sedang melaksanakan ibadah puasa bulan Ramadhan.

Wajarlah jika kedua faktor –anjuran untuk selalu di rumah dan situasi bulan Ramadhan—telah memicu peningkatan jumlah penonton TV. Sebagaimana dilaporkan HU Republika (14/5/2020), kenaikannya mencapai empat kali lipat atau bertambah 372 persen saat sahur hingga pagi, yaitu pukul 02.00 sampai 05.59.

Dari segi rating, angkanya lebih tinggi dibandingkan pada saat sahur di periode Ramadhan tahun-tahun sebelumnya, yaitu mencapai angka rating 18 persen. Tapi usai sahur, angka kepemirsaan langsung turun. Rating tertinggi kepemirsaan dari sejak pukul 06.00 pagi hingga pukul 12 siang adalah 16,5 persen.

Hal ini dapat kita artikan, waktu senggang utama pemirsa untuk menonton adalah pada saat sahur. Karena esok paginya tidak bepergian melainkan bekerja dari rumah akibat wabah Covid 19, mereka rela menonton TV terlebih dahulu. Mungkin mereka berasumsi, bukan masalah menonton lebih lama karena di pagi harinya tidak perlu pergi ke kantor dan bisa istirahat di rumah.

Selanjutnya Republika menulis, pada jam berbuka puasa pukul 18.00, angka kepemirsaan meningkat lagi sampai rating 27 persen. Sementara pada pukul 19.00 angka itu turun sekejap namun meningkat lagi ke angka 26,7 persen pada pukul 20.00.

Dari data ini kita menangkap kesan bahwa pemirsa kita masih memperhatikan kewajiban ibadah Ramadhannya di malam hari, melaksanakan shalat tarawih. Usai melakukan shalat tarawih mereka kembali menonton setelah pukul 20.

Menurunnya angka rating kepemirsaan pada saat shalat tarawih kiranya mudah kita pahami; tetapi mengapa terjadi penurunan rating kepemirsaan pada “jam kerja” mulai pukul 06 pagi? Apakah mereka sibuk WFH? Ataukah ada alternatif lain dalam memperoleh informasi dan hiburan, disamping TV?

Tampaknya pertanyaan yang terakhir itulah yang menjadi penyebabnya. Kehadiran media sosial dengan beragam platform-nya membuat khalayak tidak menjadikan TV sebagai sumber utama apalagi satu-satunya sumber informasi. Di siang hari itu, saat di rumah khalayak aktif bermedia sosial untuk berbagai keperluan personal, profesional maupun sosial.

Di siang hari itu orang-orang melakukan chatting dengan relasinya. Dalam situasi wabah Covid 19, hampir semua urusan personal dilakukan secara online. Berkirim kabar, penyelesaian janji-janji pribadi dilakukan secara daring.

Di siang hari pula, orang-orang melakukan rapat, seminar, pembelajaran, perkuliahan, pelatihan diselenggarakan secara online. Aplikasi-aplikasi yang membuat orang bisa jumpa secara virtual seperti Zoom dan Meet Google banyak dimanfaatkan untuk keperluan professional.

Demikian pula, urusan sosial seperti penggalangan bantuan untuk penanganan wabah Covid 19, pemungutan zakat fitrah, penghimpunan dana social, dilakukan secara daring. Rapat keluarga pun banyak yang menfaatkan aplikasi pertemuan virtual itu.

Di siang hari, salah satu TV yang paling banyak ditonton tampaknya adalah TVRI mengingat ada anjuran para pelajar kita untuk materi pembelajaran melalui TVRI mulai dari PAUD, SD, SMP hingga SMA. Andaikan pelajar kita semuanya berjumlah 35 juta orang, mereka merupakan pemirsa TVRI yang menonton materi belajar sesuai dengan jam tayang pelajarannya setiap harinya.

Jika anjuran pemerintah untuk banyak tinggal di rumah ini dilanjutkan, sambil terus ditutup sementaranya sekolah-sekolah, maka saran dari Kemdikbud untuk belajar dari TVRI merupakan tantangan sekaligus peluang bagi TVRI untuk menjadi TVRI yang kembali berjaya sebagaimana sebelum lahirnya TV-TV swasta. Kreativitas materi belajar yang ditayangkan tiada lain merupakan batu sudutnya.

Ibnu Hamad
Ketua Pokja Media Watch Komisi Infokom MUI Pusat, Profesor Ilmu Komunikasi FISIP UI

Tak pelak kreativitas program tayangan itu juga yang berlaku bagi TV-TV swasta. Dengan peluang 24 jam setiap hari untuk menonton TV sebagai akibat “sebaiknya tetap tinggal di rumah untuk mencegah penyebaran Covid 19,” para pemirsa tentu memerlukan tayangan yang variatif dan berkualitas baik dalam bidang informasi, ilmu pengetahuan, maupun hiburan. Demikianlah pandemi Covid 19 mengharuskan kita terus berinovasi dan beradaptasi.



Leave a Reply

Wakaf Darulfunun – Aamil Indonesia