Majalah dari Sebuah Jorong

Oleh Fachrul Rasyid HF
Komentar Singgalang di Hari Pers Senin 11 Febaruari 2013
http://fachrulrasyid.wordpress.com/2013/08/08/majalah-dari-sebuah-jorong/

Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) ke 67 ini mengingatkan saya pada sebuah jorong Padangjapang, satu dari tujuh jorong di Kenagarian VII Koto Talago, Kecamatan Guguk, Kabupaten Limapuluh Kota, 18 Km di utara Kota Payakumbuh. Hampir seratus tahun silam di jorong ini pernah diterbitkan sebuah majalah yang kemudian melahirkan sejumlah pengarang.

Majalah itu bernama Al Imam, diterbitkan Syekh Abbas Abdullah, tahun 1919 sepulang belajar di Timur Tengah. Kemudian bersama Syekh Abdul Karim Amarullah, ayah almarhum Prof. Dr. HAMKA, dan beberapa ulama mendirikan sejumlah sekolah  di daerah asal masing-masing dengan satu nama: Madrasah Sumatra Thawalib (MST). Inilah madrasah pertama sistem klasikal yang memakai papan tulis serta kursi dan meja.

Di tahun yang sama Syekh Ibrahim Musa pendiri MST Parabek Bukittinggi menerbitkan Al-Bayan. Pada 1918 Zainuddin Labay El Yunusiah pendiri Diniyah Puteri Padangpanjang, menerbitkan Al Munir El Manar, melanjutkan majalah Al Munir, majalah pertama di Indonesia, yang diterbitkan Abdul Karim Amarullah, yang lama tak terbit.

Di MST Sungayang, Tanah Datar, Syekh Sungayang menerbitkan majalah Al-Basyir, lalu, 1920 diteruskan Muhammad Yunus dan Ismail Laut. Di SMT Maninjau Syekh H. Rasyid menerbitkan majalah Al-Ittiqan. Sebagaimana majalah yang lain, majalah Al Imam Padangjapang berbasis di DFA. Majalah setengah bulanan itu berukuran kertas kuarto. Menggunakan tulisan Arab Melayu alias huruf Jawi, Al Imam memuat berbagai ilmu pengetahuan, artikel antipenjajahan, bahkan puisi dan pantun.

Majalah itu beredar luas mengikuti daerah asal para murid DFA dan Nahdhhatun Nisyaiyah (NN) mekaran DFA. Maklum, murid kedua sekolah selain berasal dari sekitar Kecamatan Guguk dan Kabupaten Limapuluh Kota, berdatangan dari Riau Daratan, Kepulauan Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatera Utara, Singapura, Malaysia bahkan Patani Thailand. Dari Bengkulu yang terbanyak berasal dari Krui, Bengkulu Selatan, dan dari Riau Kepulauan berasal dari Pulau Rupat Bengkalis.

Tahun 1968 saat berusia 12 tahun saya menemukan salah satu edisi Al Imam dalam tumpukan buku di sebuah podium tua di asrama DFA. Tumpukan buku itu adalah sisa pembakaran yang dilakukan Pemuda Rakyat antek Partai Komunis Indonesia (PKI) saat pergolakan PRRI 1958-1960.  Tahun 1970 saya juga menemukan setempel Al Imam, bertulisan Arab terbuat dari tembaga di surat Dt. Mangkuto, salah satu asrama siswa sekitar 75 meter dari gedung DFA. Takjelas, apakah ada yang memelihara setempel atau tidak.

Basis Perjuangan    

Jorong Padangjapang, kini berpenduduk sekitar 2.500 jiwa, terbilang unik. Sekitar tahun 1940-1975 di jorong ini terdapat empat sekolah menengah: DFA, NN,  Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Tabek Gadang masing-masing tingkat tsanawiyah/ aliyah. Semula MTI didirikan Syekh Muhammad Shaleh famili Syekh Abbas Abdullah, di Jorong Padang Kandis, 1906 dipindahkan ke Tabek Gadang Padang Japang. Kemudian Pendidikan Guru Agama (PGA) 4 Tahun didirkan alumni NN. Tak aneh jika kala itu nyaris separuh penghuni jorong ini adalah siswa keempat sekolah tersebut.

DFA didirikan oleh ulama Syekh Abdullah pada 1875. Awalnya hanya berupa pengajian sistem halaqah di sebuah masjid tua beratap ijuk. Setelah Syekh Abdullah meninggal pada 1903 dalam usia 73 tahun, pada tahun 1919 puteranya Syekh Abbas, saat berusia 36 tahun, dan kakaknya Syekh Mustafa pulang belajar dari Timur Tengah, melanjutkan sekolah itu. Di Mekah kaka beradik itu diasuh  ulama Minangkabau Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Mereka juga sempat belajar di beberapa perguruan di Timur Tengah dan Eropa. Bahkan pernah jadi murid Syekh Djamaluddin Al-Afghani dan Syekh Muhammad Abduh di Kairo, Mesir. Merekalah yang mengubah sistem pendidikan dan mendirikan MST.

Pada tahun 1921 beliau kembali ke Mekkah,  dan belajar di Al-Azhar Mesir sampai tahun 1924. Pulang melalui Palestina, Libanon dan Syria beliau meneruskan MST. Tahun 1930 kala tokoh-tokoh MST, seperti Ilyas Ya’kub dan Mukhtar Luthfi mendirikan organisasi PERMI (Persatuan Muslim Indonesia), sebuah organisasi politik antipenjajah, Syekh Abbas Abdullah menolak bergabung dan mengganti nama sekolahnya jadi DFA.

DFA tak sebatas mengajarkan Al-Quran dan Hadits, tapi juga ilmu falaq, geografi, fisika, kimia, aljabar, ilmu mantiq serta kesenian, semuanya dalam bahasa Arab. DFA juga punya barisan pandu terlatih, grup kesenian, dan kesebelasan yang mampu bermain hingga ke Singapura. Foto kesebelasan ini pernah dipajang di Lapau Dt. Amat Padangjapang.

Saat perjuangan kemerdekaan, DFA jadi basis perjuangan. Maklum, Syekh Abbas adalah Panglima Jihad Sumatera Tengah. Pada Juli 1942, saat Jepang memasuki Indonesia, dan Soekarno dilepas dari tahanan Bengkulu, Soekarno melalui Padang ke Padangjapang menemui Syekh Abbas. Syek mengimngat bahwa negara ini mesti berdasarkan ketuhanan. Saat makan siang Bung Karno dihadiahi peci tinggi, pengganti peci pendek Soekarno yang sudah lusuh. Sejak itu, Bung Karno selalu mengenakan peci tinggi, dan tampak lebih gagah.

Ketika perang melawan agresi militer Belanda II 1948 banyak pemimpin negara berbasis di Padangjapang. Mr. Tengku Mohammad Hassan Gubernur Sumatera kala itu berkantor di DFA. Setelah Soekarno dan Hatta ditahan Belanda di Jogyakarta, lalu, didirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), DFA jadi markas PDRI. Presiden PDRI, Mr. Syafruddin Prawira Negara  menghuni Suarau Ruyung dan berkantor di DFA bersama  Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PPK) dan Menteri Agama. Maka kala Moh. Natsir dan Dr. Leimena menjemput Mr. Syafrudin agar kembali ke Jakarta pertemuan diadakan di gedung DFA.

Majalah Al- Imam efektif terbit selama 3 tahun ( 1919-1921). Ketika Syekh Abbas melanjutkan pendidikan ke Timur Tengah, majalah ini diurus para guru yang ada. Begitupun, Al-Imam berhasil melahirkan pengarang terkemua. Antara lain, Abbas Hasan, pengarang novel dan buku pelajaran. A. Hasan Bandung, pengarang Tafsir Al Quran dan Buku (terjemahan) Hadits Bulughul Muram.

Sebelumnya, alumni DFA Zainudin Labay Elyunusia dan pendiri Diniayah Puteri PadangPanjang jadi penerbit Al Munir Al Manar. Zainuddin Hamidi, pendiri Ma’had Islamy Payakumbuh, Nashruddin Thaha, pendiri Islamic College Payakumbuh, penulis Tafsir Alquran. Kemudian Ilyas Ya’kub dan Mukhtar Luthfi juga pengarang. Kini pun siswa DFA mengikuti jejak pendahulunya. (*)



Leave a Reply

Wakaf Darulfunun – Aamil Indonesia