Kapten Thantowi, Syahidnya Anak Sahabat

Sumber: http://pdri.multiply.com/journal/item/29

Bagi warga Sumatera Barat yang pernah merunut sejarah pendidikan agama Islam, nama Syekh Mustafa Abdullah dan Syekh Abbas Abdullah, tentu tidaklah asing. Dua saudara ini tidak hanya terkenal sebagai ulama yang memiliki banyak jamaah. Tapi juga kesohor karena mendirikan perguruan Darul Funun El-Abbasiyah di Padang Japang. Pada masa keemasannya, Darul Funun El-Abbasiyah tidak hanya memiliki murid dari berbagai pelosok Sumbar, melainkan juga dari berbagai provinsi sekitar, termasuk dari negeri Jiran Malaysia. Perguruan Islam ini juga pernah dikunjungi Proklamator Republik Indonesia Ir Soekarno.

Konon, kabarnya, Syekh Abbas Abdullah dan Mustafa Abdullah, merupakan dua dari sederet orang yang pernah diminta nasehat spritualnya oleh Bung Karno.  Lalu, apa hubungannya dengan Kapten Thantowi, satu dari 69 pejuang yang tewas dalam tragedi peristiwa Situjuah? Nah, Kapten Thantowi yang lahir tahun 1926 di Nagari Aiatabik (sekarang masuk dalam Kecamatan Payakumbuh Timur) dari ibu bernama Dariham, ternyata adalah putra kandung dari Syekh Mustafa Abdullah.

Di Aiatabik, Kapten Thantowi Mustafa yang namanya sekarang sudah diabadikan sebagai nama sebuah lapangan bola kaki di Payakumbuh, terkenal sebagai pemuda berani, ta’at beragama, suka tantangan, dan sering dijuluki ”Tuanku Nan Pahik”.
Gelar ”Tuanku Nan Pahik” tentu tidak diberikan sembarangan saja kepada Kapten Thantowi. Sebab menurut HC Israr, bekas anggota DPRD Sumbar yang semasa hidupnya rajin menulis sejarah, sosok ”Tuanku Nan Pahik” adalah sosok seorang ulama yang berani, berpendirian teguh, serta pengikut dari Tuanku Imam Bonjol.  Pernah diceritakan HC Israr kepada penulis, bahwa sekitar tahun 1832, ”Tuanku Nan Pahik” yang setia dengan Tuanku Imam Bonjol, tampil  dalam pertempuran melawan Belanda yang hendak menaklukkan Aiatabik, Bukik Sikumpa dan Halaban.  ”Sayang, takdir berkata lain. Tuanku Nan Pahik gugur dalam pertempuran tersebut, dan dimakamkan di tanah taban dekat lereng Gunung Sago, dalam Kanagarian Sungai Kamuyang (sekarang masuk dalam Kecamatan Luak),” begitu cerita HC Israr menjelang akhir hayatnya.

Kembali pada Kapten Thantawi, karena dia adalah cicit dari Tuanku Nan Pahik yang pemberani, maka diberilah gelar itu kepadanya. Kapten Thantowi sendiri menempuh pendidikan Sekolah di Aiatabik. Lalu dilanjutkan ke Schakel School Payakumbuh. Setamat dari situ, dia masuk ke  sekolah Gubernemen di Dangung-dangung.   Kemudian, Kapten Thantowi meneruskan pendidikan di Ambch School Padangpanjang dan pendidikan Kadet Bukittinggi. Selesai menempuh pendidikan Kadet tahun 1947, dia masuk dalam kesatuan Bataliyon Merapi Padangpanjang dengan pangkat Letnan Muda. Selama di Bataliyon Merapi, Kapten Thantowi pernah ditugaskan di Lubukbasung dan Simpang Tonang. Lalu pada tahun 1948, dia pindah ke Padang Mangateh.

Kiprah Semasa Agresi

Ketika permulaan Agresi Belanda II meletus, Kapten Thantowi ditangkap menja di Komandan Kompi I Bataliyon Merapi dengan pangkat Letnan II. Mengenai kehadirannya dalam rapat malam hari tanggal 14 Januari 1949 di Lurah Kincia Situjuah Batua. Kapten Thantowi saat itu bertindak mendampingi komandan Pertempuran Payakumbuh Selatan, Kapten Kamaruddin Datuak Machudum.   Namun malang , pada subuh hari dia ikut menjadi korban keganasan peluruh penjajah yang membabi-buta di Lurah Kincia. Sebagai prajurit sejati, ia telah berupaya menghadapi serangan Belanda sampai tetes darah penghabisan. Namun sebelum wafat, Kapten Thantowi seperti halnya Munir Latief, juga meninggalkan prilaku ”aneh” yang selalu dikenang keluarga.  Bila Munier Latief mengembalikan cincin permata pemberian mertuanya. Maka, Kapten Thantowi sebagaimana ditulis wartawan senior Kamardi Rais Datuk Panjang Simulie, pernah tergopoh-gopoh mencari notesnya yang tidak ditemukan dalam.

Padahal saat itu, Kapten Thantowi baru saja minta izin kepada pamannya Rais Datuk Machudum dan adiknya Mustafa untuk pergi meninggalkan rumah. Tapi baru sampai di Balai Adat Nagari Aiatabik, ia kembali pulang untuk mencari buku.  Akhirnya, kata Kamardi, buku Kapten Thantowi itu baru ditemukan di tebing sumur, tidak jauh dari rumah gadang kaum mereka. Namun buku itu sudah lembab. Beberapa catatan harian yang ditulisnya juga sudah kabur dan mengembang.  Atas peristiwa itu, pamannya yang merupakan ayah kandung Kamardi Rais Datuk Panjang Simulie memberi wejangan kepada Munir Latief.  ”Lain kali, kalau sudah berangkat, jangan balik lagi, celaka kata orang tua-tua!”  ”Antah iyo, indak ka babaliak (Apa betul, tidak akan kembali?)”jawab Thantowi pelan, seperti orang bercanda.  Ternyata, Thantowi Mustafa memang tak kembali dari Situjuah. Yang pulang ke kampungnya di Aiatabik, cuma nama. (***)



Wakaf Darulfunun – Aamil Indonesia