Pedoman Hisab Muhammadiyah

Perkembangan Kriteria Hisab

Dalam kaitannya dengan pertanda yang menunjukkan awal/ akhir bulan. Apa dan bagaimana kriterianya? Secara umum, hisab hanya menghitung posisi bulan terhadap matahari dan matahari serta bulan terhadap bumi pada tempat-tempat tertentu. Sedangkan untuk menentukan awal bulan (tanggal 1 bulan Qamariyah) dikenal beberapa kriteria.

Paling tidak, ada tiga kriteria yang sudah dikenal Muhammadiyah sekurang-kurangnya sejak tahun 1957,¹ sebagaimana disebutkan oleh K.H. Wardan Diponingrat:²

¹  Semula Muhammadiyah menetapkan awal bulan baru itu hanya dengan rukyat, setelah ilmu astronomi berkembang di Muhammadiyah yang dipelopori oleh K.H. Siraj Dahlan putera K.H. Ahmad Dahlan, hisab mulai digunakan dengan kriteria ijtimâ‘ qabla al-gurûb. Kemudian sejalan dengan perkembangan pemikiran dalam perhitungan hisab, sejak tahun 1388 H/1968 M kriteria ijtimâ‘ qabla al-gurûb ini disempurnakan dengan memperhitungkan posisi hilal di atas ufuk (wujûd al-hilâl). Dengan demikian, dalam sejarahnya memang Muhammadiyah tidak pernah menggunakan hisab dengan kriteria imkân al-ru’yah.

² Wardan, Hisab Urfi, hlm. 43. Dengan bukti buku ini, sekurangkurangnya sejak tahun 1957 Muhammadiyah sudah mengenal adanya beberapa kriteria penetapan awal bulan berdasarkan hisab.

Pertama, kriteria ijtimâ‘ qabla al-gurûb: kriteria ini memperhitungkan kapan terjadinya ijtimâ‘ (conjunction).¹ Jika ijtimâ‘ terjadi sebelum matahari terbenam, maka malam hari dan keesokan harinya dapat ditetapkan sebagai tanggal 1 bulan baru. Akan tetapi jika ijtimâ‘ terjadi setelah matahari terbenam, maka senja itu dan keesokan harinya ditetapkan sebagai hari terakhir dari bulan yang sedang berlangsung.²

¹ Saat bulan dan matahari “bertemu” pada bujur ekliptik yang sama. Jika lintangnya juga sama, maka akan terjadi gerhana matahari. Sejak ratusan tahun yang lalu para astronom sudah dapat menghitung ijtimâ‘ ribuan tahun ke depan dengan kesalahan kurang dari 1 (satu) menit. Ijtimâ‘ terjadi serentak dan hanya sekali dalam setiap bulannya. Berbeda dengan gerhana, Peristiwa ijtimâ‘ ini tidak bisa dilihat oleh mata kepala karena sinar matahari yang berada di belakang bulan sangat menyilaukan. Lihat Fahmi Amhar, “Pengantar Memahami Astronomi Rukyat: Mencari Solusi Keseragaman waktuwaktu ibadah”, hlm. 1. makalah disampaikan dalam Workshop Nasional Metodologi Penetapan Awal Bulan Qamariyah Model Muhammadiyah yang diselenggarakan oleh Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah bekerjasama dengan Program Pascasarjana Magister Studi Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, di Yogyakarta tanggal 19-20 Oktober 2002.

² Dalam perkembangannya, penetapan berdasarkan ijtimâ‘ ini menjadi ijtimâ‘ sebelum tengah malam dan ijtimâ‘ sebelum fajar menyingsing.

Kedua, kriteria imkân al-ru’yah, kriteria ini memperhitungkan ketinggian hilal pada saat terbenam matahari setelah terjadinya ijtimâ‘.¹ Jika hilal menurut hisab sudah mencapai pada ketinggian yang memungkinkan dapat dilihat, maka malam itu dan keesokan harinya dapat ditetapkan sebagai tanggal 1 bulan baru. Akan tetapi jika belum mencapai pada ketinggian yang memungkinkan dapat dilihat, maka senja itu dan keesokan harinya ditetapkan sebagai hari terakhir dari bulan yang sedang berlangsung. Namun dalam penentuan kriteria imkân al-ru’yah ini belum ada kesepakatan,² sehingga bagaimanapun juga akan senantiasa terjadi keragaman dan ketidakpastian, baik antara ahli hisab dengan rukyat maupun dengan sesama ahli hisab.

¹ Berdasarkan fikih, rukyat harus dilakukan pada tanggal 29 Sya‘ban tanpa memperhitungkan sudah ijtimâ‘ atau belum

² Secara astronomis, menurut Danjon setelah berulangkali melakukan penelitian/pengamatan, hilal tidak mungkin dapat dilihat, jika selisih sudutnya dari matahari kurang dari 7º dengan beda azimut harus 0º. (Schafer, 1991: 265). Ketetapan ini kemudian diperkuat oleh hasil penelitian Muamer Diezer di Candily Observatory, bahwa hilal baru dapat dilihat jika selisih sudut dari matahari (angular distance) 8º dengan ketinggian (irtifâ‘) minimum 5º di atas ufuk. Ketentuan Diezer ini kemudian disepakati dalam Konferensi Penyatuan Kalender Hijriyah Internasional di Istanbul Turki pada tanggal 26-27 April 1978. Lihat M. Ilyas, A Modern Guide to Astronomical Calculations of Islamic Calendar, Times and Qibla, (Kuala Lumpur: Berita Publishing SDN. BHD. 1984), hlm. 107. Sementara di Indonesia (Baca: Depag RI), telah ditetapkan: irtifâ‘ 2º dengan umur bulan (tenggang waktu antara ijtimâ‘ dengan terbenam matahari) 8 jam. Akan tetapi dalam kenyataanya, Depag tidak konsisten, karena sering menyatakan hilal berhasil dirukyat, padahal ketinggiannya berdasarkan hasil hisab kurang dari 2º.

Ketiga, kriteria wujûd al-hilâl, kriteria ini menganggap hilal sudah wujud bila matahari sudah terbenam (sun set) lebih dahulu daripada bulan terbenam (moon set) pada akhir bulan Qamariyah tanpa ada batasan minimal ketinggian hilal.¹ Jika hilal sudah wujud sekalipun sejarak 1 menit atau kurang, maka senja dan keesokan harinya sudah dimulai bulan baru.² Akan tetapi bila bulan terbenam lebih dahulu daripada matahari, berarti hilal belum wujud (negatif –  berada di bawah ufuk) maka senja itu dan keesokan harinya ditetapkan sebagai hari terakhir dari bulan yang sedang berlangsung.

¹ Setelah terjadinya ijtimâ‘ bulan bergerak makin tinggi dan lambat laun akan menyentuh horizon bagi tempat di bumi yang sedang mengalami matahari terbenam. Jika bulan tepat di horizon, maka dikatakan irtifa`-nya nol, semenjak inilah hilal dapat dinyatakan wujud atau positif di atas ufuk. Semakin lama semakin tinggi, dan dalam tempo 24 jam (satu hari), hilal akan bergerak sekitar 12º. Fahmi Amhar, “Pengantar Memahami”,  hlm. 2.

² Wardan, Hisab Urfi, hlm. 42-43.

Buku Faham Agama dalam Muhammadiyah,
Dr Afifi Fauzi Abbas, MA, UHAMKA Press


Buya Dr Afifi Fauzi Abbas MA
Pembina Utama Mata Kuliah Fiqh & Ushul Fiqh
Ketua PD Muhammadiyah Limapuluhkota
Pimpinan Yayasan Darulfunun El-Abbasiyah



Leave a Reply

Wakaf Darulfunun – Aamil Indonesia